Friday, July 10, 2015

Mitos Bangunan Tugu Jogja


Tugu Jogja atau yang lebih agan-agan kenal sebagai Tugu Malioboro ini mempunyai nama laen Tugu Golong Gilig atau Tugu Pal Putih (white paal) merupakan penanda batas utara kota tua Jogja. Tugu Jogja bukanlah tugu sembarang tugu ne gan, tapi tugu jogja ini adalah tugu yang memiliki mitos yang sangat bersejarah dan sejuta misteri di dalamnya, sehingga menjadi salah satu keistimewaan yang dimiliki kota Jogja.

Tugu ini dibangun pada tahun 1755 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, pendiri kraton Yogyakarta yang mempunyai nilai simbolis dan merupakan garis yang bersifat magis menghubungkan Laut Selatan, Kraton Jogja dan Gunung Merapi.

Pada saat awal berdirinya, bangunan ini secara tegas menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan. Semangat persatuan atau yang disebut golong gilig itu tergambar jelas pada bangunan tugu, tiangnya berbentuk gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk golong (bulat), hingga akhirnya dinamakan Tugu Golong-Gilig. Keberadaan Tugu ini juga sebagai patokan arah ketika Sri Sultan Hamengku Buwono I pada waktu itu melakukan meditasi, yang menghadap puncak gunung Merapi. Bangunan Tugu Jogja saat awal dibangun berbentuk tiang silinder yang mengerucut ke atas, sementara bagian dasarnya berupa pagar yang melingkar, sedangkan bagian puncaknya berbentuk bulat. Ketinggian bangunan tugu golong gilig ini pada awalnya mencapai 25 meter.

Tugu Golong Gilig

Kondisi Tugu Yogya ini berubah total pada 10 Juni 1867, di mana saat itu terjadi bencana alam gempa bumi besar yang mengguncang Yogyakarta, yang membuat bangunan tugu runtuh. Runtuhnya tugu karena gempa inilah yang membuat keadaan dalam kondisi transisi karena makna persatuan benar-benar tak tercermin pada bangunan tugu.

Pada tahun 1889, keadaan Tugu benar-benar berubah, saat pemerintah Belanda merenovasi seluruh bangunan tugu. Kala itu Tugu dibuat dengan bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing. Ketinggian bangunan pun menjadi lebih rendah, yakni hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula. Sejak saat itulah, tugu ini disebut sebagai De Witt Paal atau Tugu Pal Putih. Perombakan bangunan Tugu saat itu sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk mengikis persatuan antara rakyat dan raja, namun melihat perjuangan rakyat dan raja di Yogyakarta yang berlangsung sesudahnya, akhirnya upaya tersebut tidak berhasil. 

Misteri Goa Kiskendo

Goa Kiskendo terletak di desa Jatimulyo kurang lebih 38 kilometer ke arah barat dari kota Yogyakarta. Paling mudah di tempuh melalui Jalan Godean menuju barat ke arah Pegunungan Menoreh mengambil jalur yang menuju Purworejo. Posisi Goa berada di kiri / selatan jalan jalur Godean-Menoreh-Kaligesing-Purworejo. Area goa Kiskendo ini di jaga oleh beberapa orang dan ada juru kuncinya yang akan menemani masuk jika ada pengunjung.
 Goa kiskendo merupakan goa alam yang ada di kawasan Pegunungan Menoreh. Kedalamannya mencapai 1000meter dengan jalur yang bercabang, jalur yang mudah untuk di telusuri sepanjang 600meter dari mulut goa. Dari cerita yang ada konon goa kiskendo ini dilatar belakangi oleh legenda pertemouran Maheso Suro - Lembu Suro melawan Sugriwo-Subali yang ceritanya lengkap dan detail digambarkan di relief didekat mulut goa. Kondisi relief juga masih baik dan terjaga, tidak ada tanda-tanda vandalisme seperti corat-coret.

Goa Kiskendo juga dikenal sebagai tempat yang sakral untuk tempat ritual bertapa. Lokasi yang sering digunakan untuk bertapa di dalam goa kiskendo antara lain Pertapaan Kusuma, Pertapaan Ledhek, Pertapaan Santri Tani. 

Selain tempat pertapaan, kawasan Goa Kiskendo yang asri di sekitar goa juga dijadikan bumi perkemahan. Ada pula taman bermain anak lengkap dengan permainan seperti jungkat jungkit, seluncuran, dan panjat-panjatan. Kawasan ini juga sebenarnya cocok sebagai lokasi outbond training ataupun company gathering.

Bagi yang suka susur goa didekat goa kiskendo ada juga goa Sumitro yang terletak beberapa meter di bawah Kiskendo. Tinggal menghhubungi penjaga saja untuk memasukinya.

Bermainlah ke Goa Kiskendo dan nikmati keasrian dan suasana yang alami dan jangan lupa buanglah sampah pada tempat sampah.

Legenda Cerita Rakyat Kabupaten Sleman Yokyakarta

Gunung Merapi terletak di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan di beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Tengah seperti Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten. Menurut cerita masyarakat setempat, dahulu daerah yang kini ditempati oleh Gunung Merapi masih berupa tanah datar. Oleh karena suatu keadaan yang sangat mendesak, para dewa di Kahyangan bersepakat untuk memindahkan Gunung Jamurdipa yang ada di Laut Selatan ke daerah tersebut. Namun setelah dipindahkan, Gunung Jamurdipa yang semula hanya berupa gunung biasa (tidak aktif) berubah menjadi gunung berapi. Apa yang menyebabkan Gunung Jamurdipa berubah menjadi gunung berapi setelah dipindahkan ke daerah tersebut? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Gunung Merapi berikut ini!

* * *

Alkisah, Pulau Jawa adalah satu dari lima pulau terbesar di Indonesia. Konon, pulau ini pada masa lampau letaknya tidak rata atau miring. Oleh karena itu, para dewa di Kahyangan bermaksud untuk membuat pulau tersebut tidak miring. Dalam sebuah pertemuan, mereka kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah gunung yang besar dan tinggi di tengah-tengah Pulau Jawa sebagai penyeimbang. Maka disepakatilah untuk memindahkan Gunung Jamurdipa yang berada di Laut Selatan ke sebuah daerah tanah datar yang terletak di perbatasan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kabupaten Magelang, Boyolali, serta Klaten Provinsi Jawa Tengah.

Sementara itu, di daerah di mana Gunung Jamurdipa akan ditempatkan terdapat dua orang empu yang sedang membuat keris sakti. Mereka adalah Empu Rama dan Empu Pamadi yang memiliki kesaktian yang tinggi. Oleh karena itu, para dewa terlebih dahulu akan menasehati kedua empu tersebut agar segera pindah ke tempat lain sehingga tidak tertindih oleh gunung yang akan ditempatkan di daerah itu. Raja para dewa, Batara Guru pun segera mengutus Batara Narada dan Dewa Penyarikan beserta sejumlah pengawal dari istana Kahyangan untuk membujuk kedua empu tersebut.

Setiba di tempat itu, utusan para dewa langsung menghampiri kedua empu tersebut yang sedang sibuk menempa sebatang besi yang dicampur dengan bermacam-macam logam. Betapa terkejutnya Batara Narada dan Dewa Penyarikan saat menyaksikan cara Empu Rama dan Empu Pamadi membuat keris. Kedua Empu tersebut menempa batangan besi membara tanpa menggunakan palu dan landasan logam, tetapi dengan tangan dan paha mereka. Kepalan tangan mereka bagaikan palu baja yang sangat keras. Setiap kali kepalan tangan mereka pukulkan pada batangan besi membara itu terlihat percikan cahaya yang memancar.

“Maaf, Empu! Kami utusan para dewa ingin berbicara dengan Empu berdua,” sapa Dewa Penyarikan.

Kedua empu tersebut segera menghentikan pekerjaannya dan kemudian mempersilakan kedua utusan para dewa itu untuk duduk.

“Ada apa gerangan, Pukulun?[1] Ada yang dapat hamba bantu?” tanya Empu Rama.

“Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan permintaan para dewa kepada Empu,” jawab Batara Narada.

“Apakah permintaan itu?” tanya Empu Pamadi penasaran, ”Semoga permintaan itu dapat kami penuhi.”

Batara Narada pun menjelaskan permintaan para dewa kepada kedua empu tersebut. Setelah mendengar penjelasan itu, keduanya hanya tertegun. Mereka merasa permintaan para dewa itu sangatlah berat.

“Maafkan hamba, Pukulun! Hamba bukannya bermaksud untuk menolak permintaan para dewa. Tapi, perlu Pukulun ketahui bahwa membuat keris sakti tidak boleh dilakukan sembarangan, termasuk berpindah-pindah tempat,” jelas Empu Rama.

“Tapi Empu, keadaan ini sudah sangat mendesak. Jika Empu berdua tidak segera pindah dari sini Pulau Jawa ini semakin lama akan bertambah miring,” kata Dewa Penyarikan.

“Benar kata Dewa Penyarikan, Empu. Kami pun bersedia mencarikan tempat yang lebih baik untuk Empu berdua,” bujuk Empu Narada.

Meskipun telah dijanjikan tempat yang lebih baik, kedua empu tersebut tetap tidak mau pindah dari tempat itu.

“Maaf, Pukulun! Kami belum dapat memenuhi permintaan itu. Kalau kami berpindah tempat, sementara pekerjaan ini belum selesai, maka keris yang sedang kami buat ini tidak sebagus yang diharapkan. Lagi pula, masih banyak tanah datar yang lebih bagus untuk menempatkan Gunung Jamurdipa itu,” kata Empu Pamadi.

Melihat keteguhan hati kedua empu tersebut, Empu Narada dan Dewa Penyaringan mulai kehilangan kesabaran. Oleh karena mengemban amanat Batara Guru, mereka terpaksa mengancam kedua empu tersebut agar segera pindah dari tempat itu.

“Wahai, Empu Rama dan Empu Pamadi! Jangan memaksa kami untuk mengusir kalian dari tempat ini,” ujar Batara Narada.

Kedua empu tersebut tidak takut dengan acaman itu karena mereka merasa juga sedang mengemban tugas yang harus diselesaikan. Oleh karena kedua belah pihak tetap teguh pada pendirian masing-masing, akhirnya terjadilah perselisihan di antara mereka. Kedua empu tersebut tetap tidak gentar meskipun yang mereka hadapi adalah utusan para dewa. Dengan kesaktian yang dimiliki, mereka siap bertarung demi mempertahankan tempat itu. Tak ayal, pertarungan sengit pun tak terhindarkan. Meskipun dikeroyok oleh dua dewa beserta balatentaranya, kedua empu tersebut berhasil memenangkan pertarungan itu.

Batara Narada dan Dewa Penyarikan yang kalah dalam pertarungan itu segera terbang ke Kahyangan untuk melapor kepada Batara Guru.

“Ampun, Batara Guru! Kami gagal membujuk kedua empu itu. Mereka sangat sakti mandraguna,” lapor Batara Narada.

Mendengar laporan itu Batara Guru menjadi murka.

“Dasar memang keras kepala kedua empu itu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Batara Guru.

“Dewa Bayu, segeralah kamu tiup Gunung Jamurdipa itu!” seru Batara Guru.

Dengan kesaktiannya, Dewa Bayu segera meniup gunung itu. Tiupan Dewa Bayu yang bagaikan angin topan berhasil menerbangkan Jamurdipa hingga melayang-layang di angkasa dan kemudian jatuh tepat di perapian kedua empu tersebut. Kedua empu yang berada di tempat itu pun ikut tertindih oleh Gunung Jamurdipa hingga tewas seketika. Menurut cerita, roh kedua empu tersebut kemudian menjadi penunggu gunung itu. Sementara itu, perapian tempat keduanya membuat keris sakti berubah menjadi kawah. Oleh karena kawah itu pada mulanya adalah sebuah perapian, maka para dewa mengganti nama gunung itu menjadi Gunung Merapi.

* * *

Demikian cerita Asal Mula Gunung Merapi dari Provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah, Indonesia. Hingga saat ini, kawah Gunung Merapi tersebut masih aktif dan sering mengeluarkan lahar disertai dengan hembusan awan panas. Sejak tahun 1548, gunung berapi ini sudah meletus sebanyak kurang lebih 68 kali. Hingga cerita ini ditulis (27/10/2010), Gunung Merapi kembali meletus dan mengakibatkan ribuan warga mengungsi, ratusan rumah hancur, serta puluhan orang meninggal dunia, termasuk Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi.

Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita atas adalah bahwa orang yang tidak mau mendengar nasehat akan mendapatkan celaka seperti halnya Empu Rama dan Empu Pamadi. Oleh karena enggan mendengar nasehat para dewa, akibatnya mereka tewas tertindih Gunung Jamurdipa. (Samsuni/sas/209/10-10)

Legenda Nyi Roro Kidul

Nyi Roro Kidul atau Kanjeng Ratu Kidul adalah sebuah cerita legendaris Indonesia, yang dikenal sebagai Ratu Laut Selatan Jawa (Samudera Hindia atau Samudra selatan dari pulau Jawa) Dia juga disebut sebagai permaisuri dari Sultan Mataram, dimulai dengan Senopati dan berlanjut sampai sekarang. Nyai Roro Kidul memiliki banyak nama yang berbeda, yang mencerminkan beragam cerita-cerita asal di banyak kisah-kisah, legenda, mitos dan tradisional cerita rakyat.
 
Menurut Babad Tanah Jawi (abad ke-19), menceritakan tentang adanya seorang raja di Pajajaran yang bernama Raja Mudingsari memiliki putri bernama Ratna Suwinda, putri ini memiliki kegemaran bertapa, sehingga pangeran-pangeran yang meminangnya di tolak semua. Hal ini membuat Raja Mudingsari marah dan mengusirnya. Ratna Suwinda mengembara bertujuan untuk mencari tempat yang cocok untuk bertapa, akhirnya sampailah di Gunung Kumbang dan bertapa dipuncak gunung tersebut, dipuncak gunung terdapat sebuah pohon cemara yang digunakan oleh Dewi Ratna Suwinda bila beralih rupa menjadi laki-laki dengan nama Hajar Cemoro Tunggal. Ada seorang pangeran dari Kerajaan Pajajaran, Joko Suruh, bertemu dengan seorang pertapa yang memerintahkan agar dia menemukan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Karena sang pertapa berubah menjadi seorang wanita muda yang cantik, Joko Suruh pun jatuh cinta kepadanya. Tapi sang pertapa yang ternyata merupakan adik kakek Joko Suruh, bernama Ratna Suwinda, menolak cintanya. Ratna Suwida mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit. Kemudian ia pergi ke pantai selatan Jawa dan menjadi penguasa spiritual di sana. Ia berkata kepada pangeran, jika keturunan pangeran menjadi penguasa di kerajaan yang terletak di dekat Gunung Merapi, ia akan menikahi seluruh penguasa secara bergantian (Sholikhin, 2009 : 88-89).

Disini akan diceritakan dalam versi cerita rakyat Pajajaran, hal ini dikarenakan di ujung timur Pulau Jawa kita akan menemukan kembali kisah tersebut. Adapun kisah cerita dimulai dari versi rakyat Pajajaran adalah sebagai berikut:

Suatu ketika pada masa Prabu Mundingwesi memerintah di Kerajaan Pajajaran, telah memiliki seorang anak perempuan cantik. Ia dinamai Putri Kadita atau Putri Srengenge. Namun Prabu Mundingwesi menginginkan anak laki-laki maka Raja pun menikah lagi dengan dewi Mutiara dan memiliki anak laki-laki. Pada suatu ketika Dewi Mutiara berkata kepada sang Prabu bahwa kelak yang menjadi raja adalah anak hasil keturunannya dan supaya mengusir Kandita dari keratin, namun Prabu Mundingwesi menolaknya. Akhirnya Dewi Mutiara menenun Kadita menjadi berwajah jelek dan berbisul serta bau. Di bawah pengaruh Dewi Mutiara dan Patihnya, Prabu Mundingwesi pun mengusir anak dari keraton karena dikhawatirkan mereka akan mendatangkan malapetaka bagi kerajaan. Dalam kondisi tersebut, Putri Kadita pergi tanpa tujuan. Putri Kadita terus berjalan menuju selatan hingga sampai di Laut Selatan. Putri Kadita memandang laut tersebut, tiba-tiba ada suara yang menyuruhnya terjun kelaut. Putri Kadita langsung melompat dari tebing curam ke tengah gulungan ombak, dan berenang di Laut Selatan. Saat berenang penyakitnya hilang seketika. Selain sembuh dan kembali cantik, ia juga beroleh kekuatan gaib serta menguasai Laut Selatan. Sejak itu ia disebut sebagai Nyi Loro Kidul (yang artinya loro = derita, kidul = selatan), atau Nyai Roro Kidul sang Ratu Penguasa Laut Selatan (Sholikhin, 2009 : 85-87).

Dari versi Keraton Yogyakarta, Nyi Loro Kidul sebenarnya adalah putra (anak) dari seorang begawan bernama Abdi Waksa Geni. Ia berasal dari keluarga dengan dua bersaudara. Saudara kandungnya bernama Nawangsari, sedangkan nama dia yang sesungguhnya tidak diketahui. Awalnya, sewaktu masih menjadi manusia biasa Nyi Loro Kidul adalah gadis yang buruk rupa. Sedangkan saudara kandungnya sangat cantik. Kondisi ini membuat Nyi Loro kidul merasa minder bergaul dengan orang-orang di lingkungannya. Karena ayahnya seorang abdi, maka ayahnya selalu mengingatkan ia untuk tidak bersikap demikian. Sebagai usaha menghilangkan perasaan minder itu, ayah Nyi Loro Kidul meminta ia agar mandi dan bertapa di laut selatan. Pada saat mandi itulah ia didatangi oleh seorang dewa. Dewa itu menawarinya untuk merubah wajahnya menjadi cantik, dengan syarat dia harus mau diangkat jadi ratu di pantai laut selatan. Dengan adanya tawaran itu sang putri mau menerima, karena sudah terlanjur tidak mau bergaul dengan orang lain.

Maka jadilah ia seorang yang cantik dan menguasai Kerajaan Laut Selatan, seperti yang dipercaya orang sampai saat ini. Keterkaitan antara kerjaan Mataram dengan Nyi Loro Kidul bermula pada saat sang raja ditawari menikah denganya. Ratu kidul sangat tergila-gila pada sang raja yang memiliki wajah yang sangat tampan. Pertemuan Nyi Loro Kidul dengan raja Mataram bermula pada saat sang raja bertapa di pantai Parangkusumo. Saat bertapa itu ratu Laut Kidul menemui Sang raja. Ratu Laut kidul menyukai sang raja dan mengatakan bahwa jika raja mau menjadi suaminya ia berjanji akan membantu menjaga kerajaan mataram sampai akhir hayatnya, bahkan sampai kiamat.

Sebagai wujud kepercayaan mereka terhadap keberadaan Nyi Loro Kidul, pihak keraton selalu mengadakan suatu kegiatan sebagai upacara untuk menghormati Sang Ratu. Kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan labuhan yang dilaksanakan di pantai selatan. Labuhan yang dilaksanakan oleh Raja Yogyakarta dilaksanakan di Parangtritis. Upacara menghormati Nyai Roro Kidul ini serupa dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat Jawa Timur yang memiliki daerah dengan batas Samudra Hindia atau Laut Selatan.

Dari uraian dua versi di atas, dapat disimpulkan beberapa persamaan akan kisah tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut.

1. versi Pajajaran; Prabu Mundingwesi mengusir anak keraton karena dikhawatirkan mereka akan mendatangkan malapetaka bagi kerajaan karena menderita sakit kulit yang parah. Versi Jojakarta: Nyi Loro Kidul adalah gadis yang buruk rupa oleh karena itu dia di suruh ayahnya Begawan Abdi Waksa Geni untuk pergi mandi dan bertapa di laut selatan. Dalam versi Babad Tanah Jawa Ratna Suwandi di usir oleh Raja Mudingsari karena kebiasaan bertapa.

2. versi Pajajaran: Putri Kadita terus berjalan menuju selatan sampai akhirnya tiba di laut selatan. Versi Jogjakarta: Nyai Loro Kidul pergi ke laut selatan untuk mandi dan bertapa. Versi Babad Tanah Jawi, Ratna Suwida pergi ke pantai selatan Jawa.

3. Versi Pajajaran:
Ada suara gaib agar Putri Kadita terjun ke laut selatan. Versi Jogjakarta: Pada saat mandi Nyai Loro didatangi oleh seorang dewa. Dewa itu menawarinya untuk merubah wajahnya menjadi cantik. Menurut versi Babad Tanah Jawa Ratna Suwida bertapa agar hidup abadi.

4. Versi Pajajaran: Putri Kadita melompat dari tebing curam ke tengah gulungan ombak, dan berenang di Laut Selatan. Penyakitnya menjadi sembuh.Versi Jogjakarta: Dengan adanya tawaran itu sang putri mau menerima, karena sudah terlanjur tidak mau bergaul dengan orang lain. Maka jadilah ia seorang wanita yang cantik.
Versi Babad Tanah Jawi Ratna Suwida mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit. Kemudian ke laut selatan namun dengan syarat menjadi makluk halus.

5. versi Pajajaran: Sang putri Kandita harus tetap tinggal di Laut Selatan. Versi Jgjakarta: Nyai Loro diangkat jadi ratu di pantai laut selatan. Versi Babad Tanah Jawi . Ratna Suwida menjadi penguasa Laut selatan Jawa.

Selain Versi Pajajaran dan Versi Jogjakarta, terdapat pula versi dari kalangan masyarakat Banten Kidul yang hampir mirip kisahnya,disebutkan bahwa gelar Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul yang artinya Ratu Penguasa di Selatan. diantaranya diceritakan sebagai berikut.

Diceritakan bahwa Nyai Roro Kidul merupakan putri Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pakuan Pajajaran. Ibunya merupakan permaisuri kinasih dari Prabu Siliwangi. Nyai Roro Kidul yang semula bernama Putri Kandita, memiliki paras yang sangat cantik dan kecantikannya itu melebihi kecantikan ibunya. Oleh karena itu,tidaklah mengherankan kalau Putri Kandita menjadi anak kesayangan Prabu Siliwangi.Sikap Prabu Siliwangi yang begitu menyayangi Putri Kandita telah menumbuhkan kecemburuan dari selir dan putra-putri raja lainnya. Kecemburuan itu yang kemudian melahirkan persengkokolan di kalangan mereka untuk menyingkirkan Putri Kandita dan ibunya dari sisi raja dan lingkungan istana Pakuan Pajajaran.Rencana tersebut dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan ilmu hitam sehingga Putri Kandita dan ibunya terserang suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan.Di sekujur tubuhnya, yang semula sangat mulus dan bersih, timbul luka borok bernanah dan mengeluarkan bau tidak sedap (anyir). Akibat penyakitnya itu, Prabu Siliwangi mengucilkan mereka meskipun masih tetap berada di lingkungan istana. Akan tetapi, atas desakan selir dan putra-putrinya, Prabu Siliwangi akhirnya mengusir mereka dari istana Pakuan Pajajaran.

Mereka berdua keluar dari istana dan berkelana ke arah selatan dari wilayah kerajaan tanpa tujuan. Selama berkelana, Putri Kandita kehilangan ibunya yang meninggal dunia di tengah-tengah perjalanan. Suatu hari, sampailah Putri Kandita di tepi sebuah aliran sungai. Tanpa ragu, ia kemudian meminum air sungai sepuas-puasnya dan rasa hangat dirasakan oleh tubuhnya. Tidak lama kemudian, ia merendamkan dirinya ke dalam air sungai itu. Setelah merasa puas berendam di sungai itu, Putri Kandita merasakan bahwa tubuhnya kini mulai nyaman dan segar. Rasa sakit akibat penyakit boroknya itu tidak terlalu menyiksa dirinya. Kemudian ia melanjutkan pengembaraannya dengan mengikuti aliran sungai itu ke arah hulu. Setelah lama berjalan mengikuti aliran sungai itu, ia menemukan beberapa mata air yang menyembur sangat deras sehingga semburan mata air itu melebihi tinggi tubuhnya. Putri Kandita menetap di dekat sumber air panas itu.Dalam kesendiriannya, ia kemudian melatih olah kanuragan. Selama itu pula, Putri Kandita menyempatkan mandi dan berendam di sungai itu. Tanpa disadarinya, secara berangsur-angsur penyakit yang menghinggapi tubuhnya menjadi hilang. Setelah sembuh, Putri Kandita meneruskan pengembaraan dengan mengikuti aliran sungai ke arah hilir dan ia sangat terpesona ketika tiba di muara sungai dan melihat laut. Oleh karena itu, Putri Kandita memutuskan untuk menetap di tepi laut wilayah selatan wilayah Pakuan Pajajaran.

Selama menetap di sana, Putri Kandita dikenal luas ke berbagai kerajaan yang ada di Pulau Jawa sebagai wanita cantik dan sakti. Mendengar hal itu, banyak pangeran muda dari berbagai kerajaan ingin mempersunting dirinya. Menghadapi para pelamar itu, Putri Kandita mengatakan bahwa ia bersedia dipersunting oleh para pangeran itu asalkan harus sanggup mengalahkan kesaktiannya termasuk bertempur di atas gelombang laut yang ada di selatan Pulau Jawa. Sebaliknya, kalau tidak berhasil memenangkan adu kesaktian itu, mereka harus menjadi pengiringnya.Dari sekian banyak pangeran yang beradu kesaktian dengan Putri Kandita, tidak ada seorang pangeran pun yang mampu mengalahkan kesaktiannya dan tidak ada juga yang mampu bertarung di atas gelombang laut selatan. Oleh karena itu, seluruh pangeran yang datang ke laut selatan tidak ada yang menjadi suaminya, melainkan semuanya menjadi pengiring Sang Putri. Kesaktiannya mengalahkan para pangeran itu dan kemampuannya menguasai ombak laut selatan menyebabkan ia mendapat gelar Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul yang artinya Ratu Penguasa di Selatan

Kisah Nyai Roro Kidul tersebut merupakan cerita rakyat yang di beritakan secara turu-temurun oleh masyarakat Jawa hingga sekarang, menarik sekali untuk dikaji, hal ini di karenakan berdasarkan cerita pujangga Yosodipuro dari Keraton Surakarta memberitakan kisah Nyai Roro Kidul sebagai berikut.

Di kerajaan Kediri, terdapat seorang putra raja Jenggala yang bernama Raden Panji Sekar Taji yang pergi meninggalkan kerajaannya untuk mencari daerah kekuasaan baru. Pada masa pencariannya sampailah ia di hutan Sigaluh yang didalamnya terdapat pohon beringin berdaun putih dan bersulur panjang yang bernama waringin putih. Pohon itu ternyata merupakan pusat kerajaan para lelembut (mahluk halus) dengan Sang Prabu Banjaran Seta sebagai rajanya. Berdasarkan keyakinannya akan daerah itu, Raden Panji Sekar Taji melakukan pembabatan hutan sehingga pohon waringin putih tersebut ikut terbabat. Dengan terbabatnya pohon itu si Raja lelembut yaitu Prabu Banjaran Seta merasa senang dan dapat menyempurnakan hidupnya dengan langsung musnah ke alam sebenarnya. Kemusnahannya berwujud suatu cahaya yang kemudian langsung masuk ke tubuh Raden Panji Sekar Taji sehingga menjadikan dirinya bertambah sakti.

Alkisah, Retnaning Dyah Angin-Angin adalah saudara perempuan Prabu Banjaran Seta yang kemudian menikah dengan Raden Panji Sekar Taji yang selanjutnya dinobatkan sebagai Raja. Dari hasil perkawinannya, pada hari Selasa Kliwon lahirlah putri yang bernama Ratu Hayu. Pada saat kelahirannya putri ini menurut cerita, dihadiri oleh para bidadari dan semua mahluk halus. Putri tersebut diberi nama oleh eyangnya (Eyang Sindhula), Ratu Pegedong dengan harapan nantinya akan menjadi wanita tercantik dijagat raya. Setelah dewasa ia benar-benar menjadi wanita yang cantik tanpa cacat atau sempurna dan wajahnya mirip dengan wajah ibunya bagaikan pinang dibelah dua. Pada suatu hari Ratu Hayu atau Ratu Pagedongan dengan menangis memohon kepada eyangnya agar kecantikan yang dimilikinya tetap abadi. Dengan kesaktian eyang Sindhula, akhirnya permohonan Ratu Pagedongan wanita yang cantik, tidak pernah tua atau keriput dan tidak pernah mati sampai hari kiamat dikabulkan, dengan syarat ia akan berubah sifatnya menjadi mahluk halus yang sakti mandra guna (tidak ada yang dapat mengalahkannya).

Setelah berubah wujudnya menjadi mahluk halus, oleh sang ayah Putri Pagedongan diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memerintah seluruh wilayah Laut Selatan serta menguasai seluruh mahluk halus di seluruh pulau Jawa. Selama hidupnya Ratu Pagedongan tidak mempunyai pedamping tetapi ia diramalkan bahwa suatu saat ia akan bertemu dengan raja agung (hebat) yang memerintah di tanah Jawa. Sejak saat itu ia menjadi Ratu dari rakyat yang mahluk halus dan mempunyai berkuasa penuh di Laut Selatan.

Versi Keraton Surakarta ini juga memiliki kemiripan akan kisahnya dengan cerita rakyat dari Pajajaran, Banten Kidul, dan Jogjakarta. Untuk kerajaan surakarta, labuhan dilaksanakan di pantai Parangkusumo

Ada suatu cerita di Kabupaten Banyuwangi juga memiliki cerita rakyat yang hampir sama dengan cerita Nyai Roro Kidul. Kita ketahui bahwa cerita kisah Nyai Roro Kidul bermula pada masa Mataram Islam berkuasa. Pada saat Mataram dibawah kekuasaan Panembahan senopati 1575-1601 berambisi untuk menguasai Kerajaan Blambangan akhirnya tercapai juga. Sementara itu Adipati Pasuruan Kaninten berusaha memisahkan diri dari belenggu kekuasaan Mataram, akhirnya Adipati Kaninten bersekutu dengan Blambangan yang pada saat itu di pegang oleh Prabu Santoadmodjo. Akhirnya perang berkobar, Pasuruan dapat ditundukkan kembali namun Blambangan belum bisa dikuasai. Pada saat Mataram di pegang Sultan Agung telah menyerang Blambanagan hingga 3 kali, yaitu 1625, 1636, dan 1639 Masehi (Oetomo, 1987: 27-29). Pada tahun terakhir tersebut pasukan Mataram dibawah pimpinan Pangeran Selarong berhasil menaklukan Blambangan pada tahun. Sebelum menaklukan Blambangan, Sultan Agung terlebih dahulu menyerang daerah sekitarnya.

Adapun cerita rakyat asal muasal Banyuwangi adalah sebagai berikut.


Di Ujung Timur Pulau Jawa dikisahkan bahwa pada zaman dahulu terdapat sebuah kerajaan Raja tersebut mempunyai seorang putra yang gagah bernama Raden Banterang. Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. Pada saat berburu Raden Banterang mengejar kijang itu hingga masuk jauh ke hutan dan terpisah dengan para pengiringnya. Tibalah dia di sebuah sungai yang sangat bening airnya dan meminum air sungai tersebut hingga merasa hilang dahaganya. Namun baru beberapa saat akan meninggalkan sungai, tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang gadis cantik jelita. Raden Banterang pun berrkenalan dengan gadis cantik itu yang memiliki nama Surati berasal dari kerajaan Klungkung. Putri Surati di wilayah ini karena menyelamatkan diri dari serbuan musuh yang membuat ayahnya gugur dalam peperangan tersebut. Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong dan menikah. Pada suatu hari, Raden Banterang sedang berburu di hutan dan puteri Raja Klungkung berjalan-jalan ke luar istana sendirian tiba-tiba bertemu dengan kakak kandungnya dengan menggunakan pakaian compang-camping bernama Rupaksa. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk membalas dendam, karena Raden Banterang telah membunuh ayahnya. Namun Surati menolak ajakan kakak kandungnya. Rupaksa marah dan sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati. Pesan Rupaksa agar ikat kepala tersebut supaya di simpan di tempat tidurnya.

Pada saat Raden Banterang sedang berburu di hutan bertemu dengan seorang lelaki berpakaian compang-camping. Lelaki tersebut memberitahukan bahwa keselamatannya terancam bahaya dengan bukti agar Raden Banterang melihat sebuah ikat kepala yang diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat kepala itu milik istrinya dari lelaki yang dimintai tolong untuk membunuhnya. Ia pun segera pulang ke istana. Setelah tiba di istana, Raden Banterang langsung menuju ke peraaduan istrinya. Dicarinya ikat kepala yang telah diceritakan oleh lelaki berpakaian compang-camping yang telah menemui di hutan. Ternyata benar ikat kepala tersebut ada di tempat tidur mereka. Dengan adanya bukti tersebut Raden Banterang berusaha mencelakai dan membunuh istrinya. Raden Banterang berniat menenggelamkan istrinya di sebuah sungai. Setelah tiba di sungai, Raden Banterang menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki compang-camping ketika berburu di hutan. Sang istri pun menceritakan hal yang sama tentang pertemuan dengan seorang lelaki berpakaian compang-camping. Surati pun menjelaskan bahwa yang memberi sebuah ikat kepala kepadanya tidak lain adalah kakak kandungnya. Namun Raden tetap pada pendiriannya untuk membunuhnya.

Sebelum dibunuh Surati berpesan bila air sungai ini menjadi bening dan harum baunya, maka dia tidak bersalah dan tetap keruh dan bau busuk dia bersalah. Raden Banterang tetap menganggap ucapan istrinya itu hanyalah bualan belaka. Maka, Raden Banterang segera menghunus keris yang terselip di pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu menghilang. Tidak berapa lama kemudian, terjadi sebuah keajaiban. Bau harum merebak di sekitar sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan suara gemetar menyesali perbuatannya dan meratapi kematian istrinya. Sejak itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam bahasa Jawa disebut Banyuwangi. Banyu artinya air dan wangi artinya harum. Nama Banyuwangi kemudian menjadi nama kota Banyuwangi.

Apabila dibandingkan antara Kisah Nyai Roro Kidul dan Cerita terjadinya Banyuwangi maka terdapat kesamaan atu kemiripan kisah tersebut.

Versi Pajajaran, Banten, Surakarta, Jogjakarta dan Babad Tanah Jawa dengan kode (I), sedangkan Versi Banyuwangi dengan kode (II)

(I)Versi Pajajaran,Prabu Mundingwesi mengusir anak keraton karena dikhawatirkan mereka akan mendatangkan malapetaka bagi kerajaan karena menderita sakit kulit yang parah sama dengan versi Banten Kidul. Versi Jogjakarta: Nyi Loro Kidul adalah gadis yang buruk rupa oleh karena itu dia di suruh ayahnya Begawan Abdi Waksa Geni untuk pergi mandi dan bertapa di laut selatan. Dalam versi Babad Tanah Jawa Ratna Suwinda di usir oleh Raja Mudingsari karena kebiasaan bertapa. Versi Surakarta, putri Pangedog menangis di hadapan kakeknya (II)Putri Surati mengusi ke ujung timur Jawa untuk menyelamatkan diri dari serbuan musuh yang membuat ayahnya, Raja Klungkung gugur dalam peperangan.

(I) Versi Pajajaran,Putri Kadita terus berjalan menuju selatan sampai akhirnya tiba di laut selatan sama dengan versi Banten Selatan. Versi Jogjakarta Nyai Loro Kidul pergi ke laut selatan untuk mandi dan bertapa. Versi Babad Tanah Jawi, Ratna Suwida pergi ke pantai selatan Jawa. (II)Putri Surati Meninggalkan Kerajaan Klungkung hingga sampai di sebuah sungai di hutan wilayah Raden Banterang berburu.

(I) Versi Pajajaran: Ada suara gaib agar Putri Kadita terjun ke laut selatan. Versi Jogjakarta: Pada saat Nyai Lara Kidul mandi itulah ia didatangi oleh seorang dewa. Dewa itu menawarinya untuk merubah wajahnya menjadi cantik. Versi surakarta, Putri pangedong meminta kakeknya agar wajahnya tetap cantik sepanjang masa. Menurut versi Babad Tanah Jawa Ratna Suwinda bertapa agar hidup abadi sedangkan versi Banten Kidul belajar olah raga. (II)Putri Surati bertemu dengan Raden Banterang. Akhirnya Raden Banterang segera menolong dan menikahinya.

(I)Versi Pajajaran: Putri Kadita melompat dari tebing curam ke tengah gulungan ombak, dan berenang di Laut Selatan dan penyakit menjadi sembuh. Versi Jogjakarta: Dengan adanya tawaran itu sang putri Loro Kidul mau menerima, karena sudah terlanjur tidak mau bergaul dengan orang lain. Maka jadilah ia seorang wanita yang cantik. Versi surakarta, kakeknya mengabulkan permintaan Putri Pangedong dengan syarat dia harus berubah menjadi makluk halus. Versi Banten Kidul: Putri Kandita bertarung diatas gelombang air laut selatan. Versi Babad Tanah Jawa Ratna Suwinda mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit, kemudian ke laut selatan(II)Surati melompat ke tengah sungai lalu menghilang.

(I)Versi Pajajaran: Sang putri Kadita harus tetap tinggal di Laut Selatan. Versi Jogjakarta, Nyai Loro Kidul diangkat jadi ratu di pantai laut selatan. Versi Babad Tanah Jawi . Ratna Suwinda menjadi penguasa Laut selatan Jawa. Versi Banten Kidul: Putri Kadita menjadi penguasa wilayah selatan. Versi Surakarta bahwa Ratu Pangedong di beri wilayah oleh ayahnya untuk menjadi penguasa Laut Selatan(II)Tidak berapa lama kemudian, terjadi sebuah keajaiban. Bau harum merebak di sekitar sungai.

Melihat persamaan antara cerita Nyai Roro Kidul dengan Kisah Surati (Banyuwangi) tidak menutup kemungkinan cerita tersebut di bawa oleh orang Jawa (Mataram Islam) pada saat Kerajaan Blambangan di kuasai oleh Mataram Islam. Cerita rakyat akan Banyuwangi juga selalu dikaitkan dengan cerita yang berada di relief-relief Candi yaitu Cerita Sri Tanjung. Cerita relief Sri Tanjung terdapat di area Komplek Candi Penataran dan Candi Surowono dll. Adapun ceritanya adalah sebagai berikut.

Dikisahkan, adalah Pangeran Sidapaksa salah seorang turunan Pandawa yang mengabdi pada prabu Sulakarma di negeri Sindurejo. Pada suatu ketika Sidopaksa diutus sang prabu untuk mencari obat ke tempat seorang begawan yang bernama Tambapetra di desa Prangalas.Obat pesanan sang prabu memang tidak diperoleh malah Sidapaksa jatuh cinta pada putri sang begawan yang bernama Sri Tanjung. Sidapaksa berhasil mempersunting Sri Tanjung yang memang cantik rupawan. Kecantikan Sri Tanjung terdengar pula oleh sang prabu dan berminat untuk berbuat yang tidak senonoh. Dicarinya akal untuk memperdaya Sidapaksa dengan diutus kekhayangan dengan maksud supaya dibunuh para dewa sesuai dengan bunyi surat yang dibawakannya. Memang dikhayangan Sidapaksa sempat dihajar oleh para dewa dan hampir saja dibunuhnya. Pada saat-saat kritis Sidapaksa menyebut-nyebut nama Pandawa, akibatnya ia tidak jadi dibunuh karena sebenarnya ia adalah keluarga sendiri. Sidapaksa kembali dari khayangan dengan selamat. Sementara Sidapaksa berangkat ke khayangan, prabu Sulakrama berusaha menggoda Sri Tanjung akan tetapi tidak berhasil.

Merasa malu kemudian sang prabu menempuh jalan lain dengan memfitnah Sidapaksa. Dikatakannya bahwa selama ia pergi kekhayangan istrinya telah berbuat serong. Fitnah ternyata berhasil membuat Sidapaksa kalap dan sebagai puncak kemarahannya istrinya kemudian dibunuh. Diceritakan dalam perjalanan ke alam roh Sri Tanjung naik ikan (dalam versi lain diceritakan naik buaya putih) menyeberangi sebuah sungai yang maha luas. Di sana ia bertemu dengan Betari Durga, karena belum waktunya meninggal maka sang betari ia dihidupkan kembali. Sri Tanjung kemudian kembali ke Desa Prangalas.Tersebutlah Sidapaksa yang mengetahui bahwa sebenarnya istrinya tidak bersalah sebagaimana diucapkan sesaat sebelum merenggang nyawa, menjadi sakit saraf dan hampir-hampir saja bunuh diri. Kemudian datanglah Betari Durga yang menyuruh Sidapaksa ke Desa Prangalas untuk menemui Sri Tanjung. Terjadi kesepakatan, Sri Tanjung bersedia kembali asal Sidapaksa dapat memenggal kepala Prabu Sulakrama. Permintaan tersebut dapat dipenuhi bahkan kepala sang prabu dijadikan alas kaki (keset = bahasa Jawa) Sri Tanjung. Mereka kemudian hidup bahagia (Wisnoewhardono, 1995: 19-21).

Adapun persamaannya akan saya kode sebagai berikut: Versi Sri Tanjung(I)Versi Nyai Roro Kidul(II)Versi Surati (Banyuwangi)(III)

(I)Fitnah Sulakrama membuat Sidapaksa membunuh Sri Tanjung. akhirnya dia melakukan perjalanan ke alam roh.(II) Versi pajajaran: Prabu Mundingwesi mengusir anaknya dari keraton hal ini sama dengan Versi Banten Kidul. Versi Jgjakarta, Nyi Loro di suruh ayahnya Begawan Abdi Waksa Geni untuk pergi mandi dan bertapa di laut selatan. Versi surakarta, Putri Pangendong menagis di hadapan kakeknya. Dalam versi Babad Tanah Jawa Ratna Suwandi di usir oleh Raja Mudingsari.(III)Putri Surati mengusi ke ujung timur Jawa untuk menyelamatkan diri dari serbuan musuh yang membuat ayahnya, Raja Klungkung gugur dalam peperangan.

(I) Diceritakan dalam perjalanan ke alam roh (II) Putri Kadita berjalan menuju selatan sampai laut selatan. Versi Banten Kidul: Putri Kandita menyusuri sungai hingga ke selatan. Versi Jogjakarta: Nyai Loro Kidul pergi ke laut selatan. Versi Surakarta: Putri Pangedong menemui kakeknya. Versi Babad Tanah Jawi, Ratna Suwinda pergi ke pantai selatan Jawa(III) Putri Surati tiba di sebuah sungai di hutan wilayah Raden Banterang berburu.

(I) Di alam roh Sri Tanjung bertemu dengan Betari Durga / Sri Tanjung Menikah dengan Sidapaksa(II) Versi Pajajaran: Ada suara gaib agar Putri Kadita terjun ke laut selatan. Versi Banten Kidul: Putri Kandita bertapa dan memiliki ilmu kesaktian. Versi Jogjakarta: Pada saat Nyai Lara Kidul mandi didatangi oleh seorang dewa. Versi Surakarta: Putri Pangendong meminta kakeknya agar wajahnya tetap cantik sepanjang masa. Versi Babad Tanah Jawa Ratna Suwinda bertapa agar hidup abadi(III)Putri Surati bertemu dengan Raden Banterang dan menikah.

(I) Sri Tanjung naik ikan (dalam versi lain diceritakan naik buaya putih) menyeberangi sebuah sungai yang maha luas.(II) Versi Pajajaran: Putri Kadita melompat dari tebing curam ke tengah gulungan ombak, dan berenang di Laut Selatan. Versi Banten Selatan, Putri Kandita bertarung di atas gelombang laut selatan. Versi Jogjakarta: Lara Kidul tidak mau bergaul dengan orang lain. Maka jadilah ia seorang wanita yang cantik. Versi Babad Tanah Jawa Ratna Suwinda mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit, kemudian ke laut selatan. Versi Surakarta, permintaan Putri Pangedong dikabulkan kakeknya namun harus menjadi makluk halus(III)Surati melompat ke tengah sungai lalu menghilang.

(I)Sri Tanjung dihidupkan kembali oleh Batari durga, membalas dendam kepada raja, dan hidupnya bahagia kembali(II)Versi Pajajaran: Sang putri Kadita harus tetap tinggal di Laut Selatan. Versi Jogjakarta Nyai Loro Kidul diangkat jadi ratu di pantai laut selatan. Versi Banten selatan Putri Kandita menjadi penguasa wilayah selatan. Versi Surakarta, Putri Pangedong oleh ayahnya di angkat dan diberi wilayah bagian selatan yaitu di Laut selatan. Versi Babad Tanah Jawa Ratna Suwinda menjadi penguasa Laut selatan Jawa.(III)Tidak berapa lama kemudian, terjadi sebuah keajaiban. Bau harum merebak di sekitar sungai.

Oleh karena itu tidak mengherankan apabila kisah cerita Nyai Roro Kidul begitu terkenal dan melekat dihati masyarakat sekarang karena cerita tersebut pada masa tahun 1400 sudah terdapat sebuah cerita mengenai kisah Sri Tanjung yang telah digemari oleh kalayak luas pada masa lampau, bahkan kemungkinan sebelumnya sudah ada cerita tentang tema tersebut.Cerita Nyai Roro Kidul dan Cerita Surati (Banyuwangi) yang boleh jadi digubah sesuai dengan cerita Sri Tanjung, mengingatkan kita akan cerita relief di Parthitaan Jolotundo, yaitu kisah Margawati. Adapun kisahnya sebagai berikut.

Adan tokoh Raja yang bernama Sahasranika yang memerintah Kerajaan Vatsa di Kota Kausambi. Dia termasuk keluarga Pandawa keturunan dari Arjuna. Suatu saat raja mengundang Dewa Indra dalam rangka untuk menghadiri perkawinannya dengan Mrgawati, adik Raja Ayodya. Ketika keluar dari persemayaman Dewa Indra, dia bertemu dengan Bidadari Tilottama yang jatuh cinta kepadanya. Raja tidak mempedulikannya, maka marahlah Bidadari Tilottama dan mengutuk Sahasranika, bahwa raja kelak akan berpisah dengan istrinya selama 14 tahun dan didengar oleh Matali, kereta kuda Dewa Indra. Suatu saat ketika Mrgawati mengandung dan mandi di kolam yang airnya berwarna merah. Pada saat itulah Mrgawati diculik oleh seekor Burung Garuda. Melihat kejadian tersebut raja pingsan. Setelah siuman raja berusaha menangkap Burung Garuda itu tetapi tidak berhasil.

Raja kemudian mendengar kutukan Tilottama dari Matali. Kemudian raja sadar bahwa kutukan itu sedang terjadi.Sementara itu Mrgawati di bawa Burung Garuda ke puncak gunung dan tinggal bersama para hantu di rumah Jamadgani. Di rumah itu pula akhirnya Mrgawati melahirkan anak laki-laki. Kemudian Burung Garuda meneriakkan bahwa telah lahir seorang pangeran bernama Udayana dan anak itu akan memerintah seluruh Vidyadharas.