Menurut
Babad Tanah Jawi (abad ke-19), menceritakan tentang adanya seorang raja
di Pajajaran yang bernama Raja Mudingsari memiliki putri bernama Ratna
Suwinda, putri ini memiliki kegemaran bertapa, sehingga
pangeran-pangeran yang meminangnya di tolak semua. Hal ini membuat Raja
Mudingsari marah dan mengusirnya. Ratna Suwinda mengembara bertujuan
untuk mencari tempat yang cocok untuk bertapa, akhirnya sampailah di
Gunung Kumbang dan bertapa dipuncak gunung tersebut, dipuncak gunung
terdapat sebuah pohon cemara yang digunakan oleh Dewi Ratna Suwinda bila
beralih rupa menjadi laki-laki dengan nama Hajar Cemoro Tunggal. Ada
seorang pangeran dari Kerajaan Pajajaran, Joko Suruh, bertemu dengan
seorang pertapa yang memerintahkan agar dia menemukan Kerajaan Majapahit
di Jawa Timur. Karena sang pertapa berubah menjadi seorang wanita muda
yang cantik, Joko Suruh pun jatuh cinta kepadanya. Tapi sang pertapa
yang ternyata merupakan adik kakek Joko Suruh, bernama Ratna Suwinda,
menolak cintanya. Ratna Suwida mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah
bukit. Kemudian ia pergi ke pantai selatan Jawa dan menjadi penguasa
spiritual di sana. Ia berkata kepada pangeran, jika keturunan pangeran
menjadi penguasa di kerajaan yang terletak di dekat Gunung Merapi, ia
akan menikahi seluruh penguasa secara bergantian (Sholikhin, 2009 :
88-89).
Disini akan diceritakan dalam versi cerita rakyat
Pajajaran, hal ini dikarenakan di ujung timur Pulau Jawa kita akan
menemukan kembali kisah tersebut. Adapun kisah cerita dimulai dari versi
rakyat Pajajaran adalah sebagai berikut:
Suatu ketika pada masa
Prabu Mundingwesi memerintah di Kerajaan Pajajaran, telah memiliki
seorang anak perempuan cantik. Ia dinamai Putri Kadita atau Putri
Srengenge. Namun Prabu Mundingwesi menginginkan anak laki-laki maka Raja
pun menikah lagi dengan dewi Mutiara dan memiliki anak laki-laki. Pada
suatu ketika Dewi Mutiara berkata kepada sang Prabu bahwa kelak yang
menjadi raja adalah anak hasil keturunannya dan supaya mengusir Kandita
dari keratin, namun Prabu Mundingwesi menolaknya. Akhirnya Dewi Mutiara
menenun Kadita menjadi berwajah jelek dan berbisul serta bau. Di bawah
pengaruh Dewi Mutiara dan Patihnya, Prabu Mundingwesi pun mengusir anak
dari keraton karena dikhawatirkan mereka akan mendatangkan malapetaka
bagi kerajaan. Dalam kondisi tersebut, Putri Kadita pergi tanpa tujuan.
Putri Kadita terus berjalan menuju selatan hingga sampai di Laut
Selatan. Putri Kadita memandang laut tersebut, tiba-tiba ada suara yang
menyuruhnya terjun kelaut. Putri Kadita langsung melompat dari tebing
curam ke tengah gulungan ombak, dan berenang di Laut Selatan. Saat
berenang penyakitnya hilang seketika. Selain sembuh dan kembali cantik,
ia juga beroleh kekuatan gaib serta menguasai Laut Selatan. Sejak itu ia
disebut sebagai Nyi Loro Kidul (yang artinya loro = derita, kidul =
selatan), atau Nyai Roro Kidul sang Ratu Penguasa Laut Selatan
(Sholikhin, 2009 : 85-87).
Dari versi Keraton Yogyakarta, Nyi
Loro Kidul sebenarnya adalah putra (anak) dari seorang begawan bernama
Abdi Waksa Geni. Ia berasal dari keluarga dengan dua bersaudara. Saudara
kandungnya bernama Nawangsari, sedangkan nama dia yang sesungguhnya
tidak diketahui. Awalnya, sewaktu masih menjadi manusia biasa Nyi Loro
Kidul adalah gadis yang buruk rupa. Sedangkan saudara kandungnya sangat
cantik. Kondisi ini membuat Nyi Loro kidul merasa minder bergaul dengan
orang-orang di lingkungannya. Karena ayahnya seorang abdi, maka ayahnya
selalu mengingatkan ia untuk tidak bersikap demikian. Sebagai usaha
menghilangkan perasaan minder itu, ayah Nyi Loro Kidul meminta ia agar
mandi dan bertapa di laut selatan. Pada saat mandi itulah ia didatangi
oleh seorang dewa. Dewa itu menawarinya untuk merubah wajahnya menjadi
cantik, dengan syarat dia harus mau diangkat jadi ratu di pantai laut
selatan. Dengan adanya tawaran itu sang putri mau menerima, karena sudah
terlanjur tidak mau bergaul dengan orang lain.
Maka jadilah ia
seorang yang cantik dan menguasai Kerajaan Laut Selatan, seperti yang
dipercaya orang sampai saat ini. Keterkaitan antara kerjaan Mataram
dengan Nyi Loro Kidul bermula pada saat sang raja ditawari menikah
denganya. Ratu kidul sangat tergila-gila pada sang raja yang memiliki
wajah yang sangat tampan. Pertemuan Nyi Loro Kidul dengan raja Mataram
bermula pada saat sang raja bertapa di pantai Parangkusumo. Saat bertapa
itu ratu Laut Kidul menemui Sang raja. Ratu Laut kidul menyukai sang
raja dan mengatakan bahwa jika raja mau menjadi suaminya ia berjanji
akan membantu menjaga kerajaan mataram sampai akhir hayatnya, bahkan
sampai kiamat.
Sebagai wujud kepercayaan mereka terhadap
keberadaan Nyi Loro Kidul, pihak keraton selalu mengadakan suatu
kegiatan sebagai upacara untuk menghormati Sang Ratu. Kegiatan yang
dilakukan adalah kegiatan labuhan yang dilaksanakan di pantai selatan.
Labuhan yang dilaksanakan oleh Raja Yogyakarta dilaksanakan di
Parangtritis. Upacara menghormati Nyai Roro Kidul ini serupa dengan apa
yang dilakukan oleh masyarakat Jawa Timur yang memiliki daerah dengan
batas Samudra Hindia atau Laut Selatan.
Dari uraian dua versi di atas, dapat disimpulkan beberapa persamaan akan kisah tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut.
1. versi Pajajaran;
Prabu Mundingwesi mengusir anak keraton karena dikhawatirkan mereka
akan mendatangkan malapetaka bagi kerajaan karena menderita sakit kulit
yang parah. Versi Jojakarta: Nyi Loro Kidul adalah gadis yang buruk rupa
oleh karena itu dia di suruh ayahnya Begawan Abdi Waksa Geni untuk
pergi mandi dan bertapa di laut selatan. Dalam versi Babad Tanah Jawa
Ratna Suwandi di usir oleh Raja Mudingsari karena kebiasaan bertapa.
2. versi Pajajaran:
Putri Kadita terus berjalan menuju selatan sampai akhirnya tiba di laut
selatan. Versi Jogjakarta: Nyai Loro Kidul pergi ke laut selatan untuk
mandi dan bertapa. Versi Babad Tanah Jawi, Ratna Suwida pergi ke pantai
selatan Jawa.
3. Versi Pajajaran: Ada suara gaib agar
Putri Kadita terjun ke laut selatan. Versi Jogjakarta: Pada saat mandi
Nyai Loro didatangi oleh seorang dewa. Dewa itu menawarinya untuk
merubah wajahnya menjadi cantik. Menurut versi Babad Tanah Jawa Ratna
Suwida bertapa agar hidup abadi.
4. Versi Pajajaran: Putri
Kadita melompat dari tebing curam ke tengah gulungan ombak, dan
berenang di Laut Selatan. Penyakitnya menjadi sembuh.Versi Jogjakarta:
Dengan adanya tawaran itu sang putri mau menerima, karena sudah
terlanjur tidak mau bergaul dengan orang lain. Maka jadilah ia seorang
wanita yang cantik.
Versi Babad Tanah Jawi Ratna Suwida mengasingkan
diri untuk bertapa di sebuah bukit. Kemudian ke laut selatan namun
dengan syarat menjadi makluk halus.
5. versi Pajajaran:
Sang putri Kandita harus tetap tinggal di Laut Selatan. Versi Jgjakarta:
Nyai Loro diangkat jadi ratu di pantai laut selatan. Versi Babad Tanah
Jawi . Ratna Suwida menjadi penguasa Laut selatan Jawa.
Selain
Versi Pajajaran dan Versi Jogjakarta, terdapat pula versi dari kalangan
masyarakat Banten Kidul yang hampir mirip kisahnya,disebutkan bahwa
gelar Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul yang artinya Ratu Penguasa di
Selatan. diantaranya diceritakan sebagai berikut.
Diceritakan
bahwa Nyai Roro Kidul merupakan putri Prabu Siliwangi dari Kerajaan
Pakuan Pajajaran. Ibunya merupakan permaisuri kinasih dari Prabu
Siliwangi. Nyai Roro Kidul yang semula bernama Putri Kandita, memiliki
paras yang sangat cantik dan kecantikannya itu melebihi kecantikan
ibunya. Oleh karena itu,tidaklah mengherankan kalau Putri Kandita
menjadi anak kesayangan Prabu Siliwangi.Sikap Prabu Siliwangi yang
begitu menyayangi Putri Kandita telah menumbuhkan kecemburuan dari selir
dan putra-putri raja lainnya. Kecemburuan itu yang kemudian melahirkan
persengkokolan di kalangan mereka untuk menyingkirkan Putri Kandita dan
ibunya dari sisi raja dan lingkungan istana Pakuan Pajajaran.Rencana
tersebut dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan ilmu hitam sehingga
Putri Kandita dan ibunya terserang suatu penyakit yang tidak bisa
disembuhkan.Di sekujur tubuhnya, yang semula sangat mulus dan bersih,
timbul luka borok bernanah dan mengeluarkan bau tidak sedap (anyir).
Akibat penyakitnya itu, Prabu Siliwangi mengucilkan mereka meskipun
masih tetap berada di lingkungan istana. Akan tetapi, atas desakan selir
dan putra-putrinya, Prabu Siliwangi akhirnya mengusir mereka dari
istana Pakuan Pajajaran.
Mereka berdua keluar dari istana dan
berkelana ke arah selatan dari wilayah kerajaan tanpa tujuan. Selama
berkelana, Putri Kandita kehilangan ibunya yang meninggal dunia di
tengah-tengah perjalanan. Suatu hari, sampailah Putri Kandita di tepi
sebuah aliran sungai. Tanpa ragu, ia kemudian meminum air sungai
sepuas-puasnya dan rasa hangat dirasakan oleh tubuhnya. Tidak lama
kemudian, ia merendamkan dirinya ke dalam air sungai itu. Setelah merasa
puas berendam di sungai itu, Putri Kandita merasakan bahwa tubuhnya
kini mulai nyaman dan segar. Rasa sakit akibat penyakit boroknya itu
tidak terlalu menyiksa dirinya. Kemudian ia melanjutkan pengembaraannya
dengan mengikuti aliran sungai itu ke arah hulu. Setelah lama berjalan
mengikuti aliran sungai itu, ia menemukan beberapa mata air yang
menyembur sangat deras sehingga semburan mata air itu melebihi tinggi
tubuhnya. Putri Kandita menetap di dekat sumber air panas itu.Dalam
kesendiriannya, ia kemudian melatih olah kanuragan. Selama itu pula,
Putri Kandita menyempatkan mandi dan berendam di sungai itu. Tanpa
disadarinya, secara berangsur-angsur penyakit yang menghinggapi tubuhnya
menjadi hilang. Setelah sembuh, Putri Kandita meneruskan pengembaraan
dengan mengikuti aliran sungai ke arah hilir dan ia sangat terpesona
ketika tiba di muara sungai dan melihat laut. Oleh karena itu, Putri
Kandita memutuskan untuk menetap di tepi laut wilayah selatan wilayah
Pakuan Pajajaran.
Selama menetap di sana, Putri Kandita dikenal
luas ke berbagai kerajaan yang ada di Pulau Jawa sebagai wanita cantik
dan sakti. Mendengar hal itu, banyak pangeran muda dari berbagai
kerajaan ingin mempersunting dirinya. Menghadapi para pelamar itu, Putri
Kandita mengatakan bahwa ia bersedia dipersunting oleh para pangeran
itu asalkan harus sanggup mengalahkan kesaktiannya termasuk bertempur di
atas gelombang laut yang ada di selatan Pulau Jawa. Sebaliknya, kalau
tidak berhasil memenangkan adu kesaktian itu, mereka harus menjadi
pengiringnya.Dari sekian banyak pangeran yang beradu kesaktian dengan
Putri Kandita, tidak ada seorang pangeran pun yang mampu mengalahkan
kesaktiannya dan tidak ada juga yang mampu bertarung di atas gelombang
laut selatan. Oleh karena itu, seluruh pangeran yang datang ke laut
selatan tidak ada yang menjadi suaminya, melainkan semuanya menjadi
pengiring Sang Putri. Kesaktiannya mengalahkan para pangeran itu dan
kemampuannya menguasai ombak laut selatan menyebabkan ia mendapat gelar
Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul yang artinya Ratu Penguasa di Selatan
Kisah
Nyai Roro Kidul tersebut
merupakan cerita rakyat yang di beritakan secara turu-temurun oleh
masyarakat Jawa hingga sekarang, menarik sekali untuk dikaji, hal ini di
karenakan berdasarkan cerita pujangga Yosodipuro dari Keraton Surakarta
memberitakan kisah Nyai Roro Kidul sebagai berikut.
Di kerajaan
Kediri, terdapat seorang putra raja Jenggala yang bernama Raden Panji
Sekar Taji yang pergi meninggalkan kerajaannya untuk mencari daerah
kekuasaan baru. Pada masa pencariannya sampailah ia di hutan Sigaluh
yang didalamnya terdapat pohon beringin berdaun putih dan bersulur
panjang yang bernama waringin putih. Pohon itu ternyata merupakan pusat
kerajaan para lelembut (mahluk halus) dengan Sang Prabu Banjaran Seta
sebagai rajanya. Berdasarkan keyakinannya akan daerah itu, Raden Panji
Sekar Taji melakukan pembabatan hutan sehingga pohon waringin putih
tersebut ikut terbabat. Dengan terbabatnya pohon itu si Raja lelembut
yaitu Prabu Banjaran Seta merasa senang dan dapat menyempurnakan
hidupnya dengan langsung musnah ke alam sebenarnya. Kemusnahannya
berwujud suatu cahaya yang kemudian langsung masuk ke tubuh Raden Panji
Sekar Taji sehingga menjadikan dirinya bertambah sakti.
Alkisah,
Retnaning Dyah Angin-Angin adalah saudara perempuan Prabu Banjaran Seta
yang kemudian menikah dengan Raden Panji Sekar Taji yang selanjutnya
dinobatkan sebagai Raja. Dari hasil perkawinannya, pada hari Selasa
Kliwon lahirlah putri yang bernama Ratu Hayu. Pada saat kelahirannya
putri ini menurut cerita, dihadiri oleh para bidadari dan semua mahluk
halus. Putri tersebut diberi nama oleh eyangnya (Eyang Sindhula), Ratu
Pegedong dengan harapan nantinya akan menjadi wanita tercantik dijagat
raya. Setelah dewasa ia benar-benar menjadi wanita yang cantik tanpa
cacat atau sempurna dan wajahnya mirip dengan wajah ibunya bagaikan
pinang dibelah dua. Pada suatu hari Ratu Hayu atau Ratu Pagedongan
dengan menangis memohon kepada eyangnya agar kecantikan yang dimilikinya
tetap abadi. Dengan kesaktian eyang Sindhula, akhirnya permohonan Ratu
Pagedongan wanita yang cantik, tidak pernah tua atau keriput dan tidak
pernah mati sampai hari kiamat dikabulkan, dengan syarat ia akan berubah
sifatnya menjadi mahluk halus yang sakti mandra guna (tidak ada yang
dapat mengalahkannya).
Setelah berubah wujudnya menjadi mahluk
halus, oleh sang ayah Putri Pagedongan diberi kekuasaan dan tanggung
jawab untuk memerintah seluruh wilayah Laut Selatan serta menguasai
seluruh mahluk halus di seluruh pulau Jawa. Selama hidupnya Ratu
Pagedongan tidak mempunyai pedamping tetapi ia diramalkan bahwa suatu
saat ia akan bertemu dengan raja agung (hebat) yang memerintah di tanah
Jawa. Sejak saat itu ia menjadi Ratu dari rakyat yang mahluk halus dan
mempunyai berkuasa penuh di Laut Selatan.
Versi Keraton Surakarta
ini juga memiliki kemiripan akan kisahnya dengan cerita rakyat dari
Pajajaran, Banten Kidul, dan Jogjakarta. Untuk kerajaan surakarta,
labuhan dilaksanakan di pantai Parangkusumo
Ada suatu cerita di
Kabupaten Banyuwangi juga memiliki cerita rakyat yang hampir sama dengan
cerita Nyai Roro Kidul. Kita ketahui bahwa cerita kisah Nyai Roro Kidul
bermula pada masa Mataram Islam berkuasa. Pada saat Mataram dibawah
kekuasaan Panembahan senopati 1575-1601 berambisi untuk menguasai
Kerajaan Blambangan akhirnya tercapai juga. Sementara itu Adipati
Pasuruan Kaninten berusaha memisahkan diri dari belenggu kekuasaan
Mataram, akhirnya Adipati Kaninten bersekutu dengan Blambangan yang pada
saat itu di pegang oleh Prabu Santoadmodjo. Akhirnya perang berkobar,
Pasuruan dapat ditundukkan kembali namun Blambangan belum bisa dikuasai.
Pada saat Mataram di pegang Sultan Agung telah menyerang Blambanagan
hingga 3 kali, yaitu 1625, 1636, dan 1639 Masehi (Oetomo, 1987: 27-29).
Pada tahun terakhir tersebut pasukan Mataram dibawah pimpinan Pangeran
Selarong berhasil menaklukan Blambangan pada tahun. Sebelum menaklukan
Blambangan, Sultan Agung terlebih dahulu menyerang daerah sekitarnya.
Adapun cerita rakyat asal muasal Banyuwangi adalah sebagai berikut.
Di
Ujung Timur Pulau Jawa dikisahkan bahwa pada zaman dahulu terdapat
sebuah kerajaan Raja tersebut mempunyai seorang putra yang gagah bernama
Raden Banterang. Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. Pada saat
berburu Raden Banterang mengejar kijang itu hingga masuk jauh ke hutan
dan terpisah dengan para pengiringnya. Tibalah dia di sebuah sungai yang
sangat bening airnya dan meminum air sungai tersebut hingga merasa
hilang dahaganya. Namun baru beberapa saat akan meninggalkan sungai,
tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang gadis cantik jelita. Raden
Banterang pun berrkenalan dengan gadis cantik itu yang memiliki nama
Surati berasal dari kerajaan Klungkung. Putri Surati di wilayah ini
karena menyelamatkan diri dari serbuan musuh yang membuat ayahnya gugur
dalam peperangan tersebut. Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung
itu, Raden Banterang segera menolong dan menikah. Pada suatu hari, Raden
Banterang sedang berburu di hutan dan puteri Raja Klungkung
berjalan-jalan ke luar istana sendirian tiba-tiba bertemu dengan kakak
kandungnya dengan menggunakan pakaian compang-camping bernama Rupaksa.
Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk membalas
dendam, karena Raden Banterang telah membunuh ayahnya. Namun Surati
menolak ajakan kakak kandungnya. Rupaksa marah dan sempat memberikan
sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati. Pesan Rupaksa agar
ikat kepala tersebut supaya di simpan di tempat tidurnya.
Pada
saat Raden Banterang sedang berburu di hutan bertemu dengan seorang
lelaki berpakaian compang-camping. Lelaki tersebut memberitahukan bahwa
keselamatannya terancam bahaya dengan bukti agar Raden Banterang melihat
sebuah ikat kepala yang diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat
kepala itu milik istrinya dari lelaki yang dimintai tolong untuk
membunuhnya. Ia pun segera pulang ke istana. Setelah tiba di istana,
Raden Banterang langsung menuju ke peraaduan istrinya. Dicarinya ikat
kepala yang telah diceritakan oleh lelaki berpakaian compang-camping
yang telah menemui di hutan. Ternyata benar ikat kepala tersebut ada di
tempat tidur mereka. Dengan adanya bukti tersebut Raden Banterang
berusaha mencelakai dan membunuh istrinya. Raden Banterang berniat
menenggelamkan istrinya di sebuah sungai. Setelah tiba di sungai, Raden
Banterang menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki
compang-camping ketika berburu di hutan. Sang istri pun menceritakan hal
yang sama tentang pertemuan dengan seorang lelaki berpakaian
compang-camping. Surati pun menjelaskan bahwa yang memberi sebuah ikat
kepala kepadanya tidak lain adalah kakak kandungnya. Namun Raden tetap
pada pendiriannya untuk membunuhnya.
Sebelum dibunuh Surati
berpesan bila air sungai ini menjadi bening dan harum baunya, maka dia
tidak bersalah dan tetap keruh dan bau busuk dia bersalah. Raden
Banterang tetap menganggap ucapan istrinya itu hanyalah bualan belaka.
Maka, Raden Banterang segera menghunus keris yang terselip di
pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu
menghilang. Tidak berapa lama kemudian, terjadi sebuah keajaiban. Bau
harum merebak di sekitar sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang
berseru dengan suara gemetar menyesali perbuatannya dan meratapi
kematian istrinya. Sejak itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam bahasa
Jawa disebut Banyuwangi. Banyu artinya air dan wangi artinya harum. Nama
Banyuwangi kemudian menjadi nama kota Banyuwangi.
Apabila
dibandingkan antara Kisah Nyai Roro Kidul dan Cerita terjadinya
Banyuwangi maka terdapat kesamaan atu kemiripan kisah tersebut.
Versi Pajajaran, Banten, Surakarta, Jogjakarta dan Babad Tanah Jawa dengan kode (I), sedangkan Versi Banyuwangi dengan kode (II)
(I)Versi
Pajajaran,Prabu Mundingwesi mengusir anak keraton karena dikhawatirkan
mereka akan mendatangkan malapetaka bagi kerajaan karena menderita sakit
kulit yang parah sama dengan versi Banten Kidul. Versi Jogjakarta: Nyi
Loro Kidul adalah gadis yang buruk rupa oleh karena itu dia di suruh
ayahnya Begawan Abdi Waksa Geni untuk pergi mandi dan bertapa di laut
selatan. Dalam versi Babad Tanah Jawa Ratna Suwinda di usir oleh Raja
Mudingsari karena kebiasaan bertapa. Versi Surakarta, putri Pangedog
menangis di hadapan kakeknya (II)Putri Surati mengusi ke ujung timur
Jawa untuk menyelamatkan diri dari serbuan musuh yang membuat ayahnya,
Raja Klungkung gugur dalam peperangan.
(I) Versi Pajajaran,Putri
Kadita terus berjalan menuju selatan sampai akhirnya tiba di laut
selatan sama dengan versi Banten Selatan. Versi Jogjakarta Nyai Loro
Kidul pergi ke laut selatan untuk mandi dan bertapa. Versi Babad Tanah
Jawi, Ratna Suwida pergi ke pantai selatan Jawa. (II)Putri Surati
Meninggalkan Kerajaan Klungkung hingga sampai di sebuah sungai di hutan
wilayah Raden Banterang berburu.
(I) Versi Pajajaran: Ada suara
gaib agar Putri Kadita terjun ke laut selatan. Versi Jogjakarta: Pada
saat Nyai Lara Kidul mandi itulah ia didatangi oleh seorang dewa. Dewa
itu menawarinya untuk merubah wajahnya menjadi cantik. Versi surakarta,
Putri pangedong meminta kakeknya agar wajahnya tetap cantik sepanjang
masa. Menurut versi Babad Tanah Jawa Ratna Suwinda bertapa agar hidup
abadi sedangkan versi Banten Kidul belajar olah raga. (II)Putri Surati
bertemu dengan Raden Banterang. Akhirnya Raden Banterang segera menolong
dan menikahinya.
(I)Versi Pajajaran: Putri Kadita melompat dari
tebing curam ke tengah gulungan ombak, dan berenang di Laut Selatan dan
penyakit menjadi sembuh. Versi Jogjakarta: Dengan adanya tawaran itu
sang putri Loro Kidul mau menerima, karena sudah terlanjur tidak mau
bergaul dengan orang lain. Maka jadilah ia seorang wanita yang cantik.
Versi surakarta, kakeknya mengabulkan permintaan Putri Pangedong dengan
syarat dia harus berubah menjadi makluk halus. Versi Banten Kidul: Putri
Kandita bertarung diatas gelombang air laut selatan. Versi Babad Tanah
Jawa Ratna Suwinda mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit,
kemudian ke laut selatan(II)Surati melompat ke tengah sungai lalu
menghilang.
(I)Versi Pajajaran: Sang putri Kadita harus tetap
tinggal di Laut Selatan. Versi Jogjakarta, Nyai Loro Kidul diangkat jadi
ratu di pantai laut selatan. Versi Babad Tanah Jawi . Ratna Suwinda
menjadi penguasa Laut selatan Jawa. Versi Banten Kidul: Putri Kadita
menjadi penguasa wilayah selatan. Versi Surakarta bahwa Ratu Pangedong
di beri wilayah oleh ayahnya untuk menjadi penguasa Laut
Selatan(II)Tidak berapa lama kemudian, terjadi sebuah keajaiban. Bau
harum merebak di sekitar sungai.
Melihat persamaan antara cerita
Nyai Roro Kidul dengan Kisah Surati (Banyuwangi) tidak menutup
kemungkinan cerita tersebut di bawa oleh orang Jawa (Mataram Islam) pada
saat Kerajaan Blambangan di kuasai oleh Mataram Islam. Cerita rakyat
akan Banyuwangi juga selalu dikaitkan dengan cerita yang berada di
relief-relief Candi yaitu Cerita Sri Tanjung. Cerita relief Sri Tanjung
terdapat di area Komplek Candi Penataran dan Candi Surowono dll. Adapun
ceritanya adalah sebagai berikut.
Dikisahkan, adalah Pangeran
Sidapaksa salah seorang turunan Pandawa yang mengabdi pada prabu
Sulakarma di negeri Sindurejo. Pada suatu ketika Sidopaksa diutus sang
prabu untuk mencari obat ke tempat seorang begawan yang bernama
Tambapetra di desa Prangalas.Obat pesanan sang prabu memang tidak
diperoleh malah Sidapaksa jatuh cinta pada putri sang begawan yang
bernama Sri Tanjung. Sidapaksa berhasil mempersunting Sri Tanjung yang
memang cantik rupawan. Kecantikan Sri Tanjung terdengar pula oleh sang
prabu dan berminat untuk berbuat yang tidak senonoh. Dicarinya akal
untuk memperdaya Sidapaksa dengan diutus kekhayangan dengan maksud
supaya dibunuh para dewa sesuai dengan bunyi surat yang dibawakannya.
Memang dikhayangan Sidapaksa sempat dihajar oleh para dewa dan hampir
saja dibunuhnya. Pada saat-saat kritis Sidapaksa menyebut-nyebut nama
Pandawa, akibatnya ia tidak jadi dibunuh karena sebenarnya ia adalah
keluarga sendiri. Sidapaksa kembali dari khayangan dengan selamat.
Sementara Sidapaksa berangkat ke khayangan, prabu Sulakrama berusaha
menggoda Sri Tanjung akan tetapi tidak berhasil.